Ketua Dewan Pers: Wartawan Sekaligus Menjadi Pengurus Partai Jelas Melanggar Etik

59 Views

JAKARTA – Ketua Dewan Pers periode 2025-2028, Prof. Komarudin Hidayat menegaskan bahwa pengurus partai politik yang sekaligus menjadi wartawan bisa melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Hal tersebut disampaikan langsung kepada Jurnalis JW Group melalui pesan singkat pada Selasa (9/9/2025) siang.

“Menurut UU Pers dan Etika jurnalistik, wartawan mesti independen, bekerja utk kepentingan masyarakat umum. Bukan satu golongan,” ujar Prof. Komarudin Hidayat, Ketua Dewan Pers.

Dari apa yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers diperjelas dengan keterangan dari anggota Dewan Pers Abdul Manan selaku Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan.

“Secara etis tidak boleh. Dasarnya adalah Kode Etik Jurnalistik. Mereka yang menjadi pengurus parpol sulit bisa menerapkan pasal 1 KEJ yang meminta wartawan untuk independen. Sebab, ada potensi konflik kepentingan yang akan sering dia hadapi,” tutur Abdul Manan yang juga merupakan aktivis Aliansi Jurnalis Independen.

Lebih lanjut, Abdul Manan menjelaskan bahwa akan terjadi potensi konflik kepentingan jika pengurus partai berperan ganda jadi wartawan.

“Memang bisa saja wartawan mengatasi potensi konflik kepentingan itu dg cara men’disclose’nya dalam tulisan ketika dia liputan, atau menghindari meliput dimana dia menjadi pengurus partai. Secara etik bisa seperti itu,” lanjutnya.

Kenyataannya, masih ada pengurus partai yang secara sembunyi maupun terang-terangan masih aktif menjadi wartawan. Atau sebaliknya, wartawan tapi merangkap jadi pengurus partai politik.

“Tapi yang jangan lupa, wartawan itu kan juga soal citra ya. Dia tetap bisa jadi wartawan, tapi akan membahayakan integritasnya sendiri dan juga medianya,” tambahnya.

 

Selain melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) apakah otomatis melanggar UU Pers?

Lebih lanjut, Abdul Manan menjelaskan bahwa pelanggaran Kode Etik Jurnalistik tersebut tertuang dalam UU Pers No 40 Tahun 1999.

“Merujuknya ke Pasal 7 ayat 2 UU Pers: Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik,” tegas Abdul Manan.

Dijelaskan bahwa pelanggaran pada KEJ telah diatur dengan jelas pada pasal 7 ayat 2 UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menjadi pedoman profesi wartawan.

 

Apa akibatnya jika melanggar?

Penjelasan dari Abdul Manan, kalau ada yang melaporkan wartawan itu karena dugaan pelanggaran etik itu, dia akan diperiksa secara etik.

“Kalau dia masuk dalam politik secara sementara (misalnya jadi jubir partai, caleg), kan diminta non-aktif seperti surat seruan yang disampaikan DP menjelang pemilu. Kalau dia permanen di politik, berarti kan berpotensi melanggar etik secara permanen sehingga tidak layak jadi wartawan,” ujar Manan.

Dalam kasus seperti itu, lembaga seperti Dewan Pers bisa memeriksa dan rekomendasi sanksinya disampaikan ke perusahaan medianya.

“Preseden ini pernah dilakukan saat DP menangani pengaduan wartawan salah satu media nasional yg dilaporkan minta saham Krakatau Steel dulu. Dewan Pers beri rekomendasi ke Media tersebut. Media itu yang menjatuhkan sanksi. Waktu itu berupa pemecatan,” lanjutnya.

 

Apakah masyarakat bisa melapor?

Masyarakat bisa melaporkan masalah tersebut kepada organisasi pers maupun langsung ke Dewan Pers.

“Bisa dilaporkan ke PWI (organisasi Pers) atau ke Dewan Pers. Tapi kalau organisasinya aktif, Dewan Pers kemungkinan akan merujuk ke organisasinya untuk menangani pengaduannya,” ungkap Abdul Manan.

 

Tanggapan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Organisasi Pers pertama di Indonesia yakni Persatuan Wartawan Indonesia menanggapi dengan tegas tentang pertanyaan tersebut. Bahkan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Atal Depari menyampaikan statmentnya.

“Pengurus partai politik tidak bisa menjadi wartawan sekaligus, apalagi menjadi anggota organisasi wartawan, semacam PWI, karena akan menyalahi kode etik dan aturan organisasi profesi,” tegas Atal Depari, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

(Red*/Ims)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *