Jakarta, 24/3/2025-jwgroupnews (opini);-
PM Israel Netanyahu telah bertolak ke Washington untuk menghadiri pertemua dengan Presiden AS, pertemuan ini dijadwalkan tanggal 2 febuari kemarin dalam dua sesi, dan ini adalah pertemuan pertama mereka sejak Trump masuk gedung putih.
Agenda agenda besar penting yang dibawa Netanyahu ke Gedung putih untuk didiskusikan dengan Trump dan kabinetnya antara lain soal relokasi rakyat gaza keluar negeri, isu lanjutan gencatan senjata dengan hamas, re-arrangement timur tengah secara menyeluruh, melanjutkan Proyek Abraham Accords, dan proyek proyek strategis Israel lainnya.
Salah satu masalah penting yang juga akan mereka diskusikan adalah rencana pengiriman senjata AS ke israel, israel meminta 24.000 pucuk senjata baru yang sempat ditunda pengirimannya di era Presiden Biden. Trump akan mengirim senjata baru ini ke israel juga bersama dengan 22.000 ton bom lainnya.
Jika kita melihat langkah langkah terbaru Trump soal soal pengaturan kembali timur tengah dan mengatur kembali jalur gaza khususnya pasca gencatan senjata.
Trump seperti mengamini seluruh permintaaan Netanyahu, hal ini seperti yang sudah pernah saya jelaskan sebelumnya, bahwa di era Trump, banyak proyek dan proposal Netanyahu nanti yang akan di approve sebagai kompensasi atas gencatan senjata yang dicapai atas tekanan Trump pertengahan bulan lalu.
Gencatan senjata yang berlangsung saat ini adalah tekanan Trump terhadap Netanyahu, walaupun Netanyahu sendiri tidak menginginkan gencatan senjata ini sama sekali.
Netanyahu hanya ingin rakyat Palestina di genosida pelan pelan sampai habis. Itulah sebabnya kenapa Netanyahu terus dipertahankan sebagai PM israel paling lama dalam sejarah.
Bahkan gencatan senjata ini juga tidak didukung oleh koalisi pemerintahan Netanyahu seperti Menteri Keamanan Nasional Ben Gvir atau Menteri keuangan Israel Bazalel Smotrich. Kedua koalisi Netanyahu ini mengancam akan keluar dari kabinet Netanyahu dan akan meruntuhkan pemerintahan israel saat ini.
Kepergian Netanyahu ke AS juga salah satunya adalah untuk mendapatkan dukungan dari Trump, agar pemerintahan israel yang dipimpin Netanyahu saat ini tidak collapse walaupun nanti partner koalisi Netanyahu memutuskan keluar dari pemerintahan. Trump akan menjadi backup utama Netanyahu kedepan dalam banyak misi dia di timur tengah maupun di Palestina secara keseluruhan.
Gencatan senjata ini sendiri sifatnya masih lemah, karena mediator mediator yang selama ini terlibat seperti Qatar, atau Mesir, sama sama tidak terlalu kuat dalam menghadapi tekanan AS terutama. Oleh sebab itu, gencatan senjata ini sangat rawan untuk dilanggar di kemudian hari oleh israel terutama.
Sebagai contoh, gencatan senjata antara israel dengan Hizbullah yang sudah dicapai beberapa bulan lalu saja, sampai saat ini israel masih kerap melakukan serangan.
Tidak kurang 58 kali israel melanggar gencatan senjata dengan Hizbullah. Begitu juga dengan Hamas, israel telah melanggar gencatan senjata dengan hamas beberapa kali, padahal usia gencatan senjata ini baru berumur 2 pekan.
Faktor paling mendasar kenapa gencatan senjata ini lemah di lapangan, Ini karena Trump merestui semua proposal Netanyahu soal Palestina, dari soal relokasi rakyat gaza keluar negeri seperti ke Mesir atau ke Yordania, atau rencana Trump dan Netanyahu yang menginginkan jalur gaza dikuasai dan Hamas ditumpas sampai habis.
Jika kita melihat usulan usulan Netanyahu ke Trump, salah satu point penting yang ingin dicapai dimasa mendatang adalah menghabisi Hamas, menguasai gaza, melakukan ekspansi di tepi barat dengan pemukiman baru ilegal, dan memastikan semua proxy Iran dalam kondisi lemah dan tidak memiliki kemampuan bangkit kembali seperti sebelum tanggal 7 oktober 2023 lalu.
Semua proposal Netanyahu ini akan dibahas di gedung putih bersama Trump, dan ujung dari semua proyek ini adalah agar serangan besar ke israel seperti yang terjadi pada 07 oktober 2023 lalu tidak lagi terulang selamanya.
Dalam konteks negoasiasi dan lobby, Trump bisa dikatakan sulit menolak proposal Netanyahu, ini karena Trump dan Partai Republik adalah pendukung utama PM israel dan akan terus melanjutkan dukungan ini karena faktor kekuatan lobby israel di AS yang masih sangat kuat mencengkram semua sendi sendi politik AS.
Setelah serangan 7 Oktober, Israel bertekad melakukan hal hal yang radikal yang bertujuan untuk menghindari kejadian 7 Oktober kembali. Hal hal yang radikal inilah yang bisa membuat eskalasi konflik di Palestina atau timur tengah semakin memanas di kemudian hari.
Kondisi semua proxy Iran pasca gencatan senjata pertengahan bulan lalu, baik Hamas di Palestina, Houthi di Yaman, Hizbullah Lebanon, dan milisi milisi lainnya di Irak dan Suriah kondisinya bisa dikatakan drastis sangat lemah. Dalam konflik 15 bulan kemarin, 50% kekuatan Hamas dan 40% kekuatan Hizbullah hancur.
Seperti apa yang dikatakan oleh menteri luar negeri Iran Abbas Araqchi baru baru ini, dia mengakui bahwa semua proxy Iran saat ini kondisinya menyusut drastis dan Iran sedang berupaya membangun kembali. Hamas and Hizbullah are destroyed, but rebuilding. Begitu kata Menlu Iran.
Kehancuran dan melemahnya proxy Iran masuk dalam kategori strategic defeat dalam bahasa perang. Sebenarnya hal ini tidak sulit dipahami, karena kolaborasi AS – Israel sudah lama mengincar Iran sebagai main goal untuk di invasi sejak lama.
Kita coba lihat era Donald Trump periode pertama, Trump lah yang membunuh Jenderal Besar Iran Qassem Soleimani tahun 2020 di Irak. Soleimani adalah pemimpin militer Iran diluar negeri yang mengurus semua urusan kebijakan luar negeri Iran dengan jalur hard power. Kematian Soleimani adalah pukulan besar terhadap Iran.
Trump sudah lama setuju dengan Netanyahu soal misi penghancuran Iran, karena hanya Iran saat ini satu satunya negara yang menjadi ancaman bagi Israel dan AS dalam misi memetakan peta baru timur tengah. Iran adalah rival terberat Geopolitik Israel di seluruh kawasan ini. Ini murni perang GeoPolitic bukan perang Syiah lawan Zionist.
Begitu juga dengan diamnya semua negara arab soal Palestina, ini juga merupakan mindset kerja geopoltik, semua negara muslim Sunni di seluruh timur tengah sudah lam meninggalkan palestina karena khawatir dengan Israel dan AS yang bisa mengancam semua jabatan jabatan raja atau emir di seluruh kawasan.
Secara strategis, palestina hari ini membutuhkan main ally, atau sekutu terdekat bagi mereka dalam melawan penjajahan, dan yang paling penting bagi dunia Islam saat ini adalah adanya negara negara dengan tipikal Indonesia, Malaysia, Iran, Qatar, atau Turki untuk menjadi main ally bagi Palestina yang punya posisi lebih baik dalam membela mereka ketimbang negara negara muslim lainnya.
Perlunya kolaborasi dan koalisi banyak negara muslim dan seluruh negara lainnya untuk membendung ambisi Trump dan Netanyahu di timur tengah, perlunya tekanan Internasional yang lebih kuat untuk Israel dan AS di panggung panggung internasional.
Narasi besar Netanyahu dan Trump soal the New Middle east bukanlah isapan jempol, ini adalah proyek proyek strategis yang bertujuan membangun timur tengah baru yang lebih aman bagi Israel. Ini bahkan melebihi dari sekedar misi membendung pengaruh Rusia atau China di timur tengah dan dunia Islam.
Timur Tengah dan dunia Islam saat ini dalam kondisi dilema dan tanpa kekuatan yang ril, dunia Islam saat ini terus menjadi collateral damage atas pertempuran GeoPolitic Multipolar antara AS, Russia, China, dan negara lainnya.
Pasca perang 7 Oktober lalu, timur tengah dan asia barat saat ini sudah berubah total. Kemungkinan perubahan ini akan menjadi perubahan permanen dan akan mereset semua konstelasi geopolitik disana dalam jangka sangat panjang. Pasca 7 oktober, dunia berubah dratsis, baik kebijakan AS di timur tengah, maupun map baru rencan rencana strategis bagi cita cita israel raya bagi kaum zionis.
Dunia islam akan semakin terjepit dengan agenda israel raya pasca perang panjang dari 7 0ktober lalu, pendekatan pendekatan yang radikal yang akan diterapkan AS dan Israel kedepannya akan lebih menekankan bagaimana posisi Israel yang lebih kondusif dan bagaimana semua lawan israel di kawasan, baik dari aliansi negara sunni atau syiah Iran bisa dipetakan kembali dengan sangat jelas.
Membaca peta baru agenda israel raya pasca perang 7 oktober bukanlah hal yang mudah, ini mememrlukan perangkan baru dan pengetahuan baru bagi para intelektual dan para peneliti dalam hubungan internasional, mengingat perang 7 oktober yang berlangsung selama 15 bulan adalah perang strategis dan sangat menentukan bagi masa depan nasib kedua belah pihak, baik Plaestina maupun Israel.
Begitu juga Indonesia, untuk menghadapi peta baru tersebut, kita memerlukan perangkat dan narasi baru soal soal kebijakan luar negeri, agar bisa tetap kokoh ditengah turbulensi GeoPolitic Multipolar saat ini, dan supaya kita bisa lebih banyak terlibat dimasa masa mendatang.
Dibawah koalisi dan kolaborasi Trump dan Netanyahu, dunia Islam kedepan bukanlah Medan yang aman dan menguntungkan. Melainkan harus ekstra waspada dan mungkin tidak bisa tidur nyenyak atas manuver manuver koalisi extrem yang sedang mereka bangun.
Satu satunya celah agar dunia Islam dan timur tengah bisa melakukan konsolidasi dan memperkuat diri masing masing adalah mengambil kesempatan di tengah tengah kesibukan AS mengurus Rusia dan China. Dunia Islam harus mampu bermanuver dengan baik.
Trump akan banyak fokus dengan isu isu besar terutama China dan Rusia, serta menyetop pengaruh Rusia dan China di seluruh dunia dalam konteks pertempuran halaman baru GeoPolitic. Tapi isu dunia Islam dan Palestina harus ekstra waspada, karena apapun proposal Netanyahu soal siap ini kecil kemungkinan akan ada hambatan menuju meja Presiden Trump.
Opini oleh
TENGKU ZULKIFLI USMAN
Ketua Pusat Solidaritas Palestina DPP Partai Gelora & Pengamat Geopolitik Internasional.